Selama ini, kemoterapi hampir selalu dikaitkan dengan kanker. Padahal, dalam dunia medis, kemoterapi adalah kelas terapi berbasis obat sitotoksik atau imunosupresif yang bekerja dengan menekan pembelahan sel. Banyak obat kemoterapi juga memiliki efek modulasi imun sehingga dapat digunakan tidak hanya untuk menghancurkan sel kanker, tetapi juga untuk mengendalikan penyakit dengan aktivitas sistem kekebalan tubuh yang berlebihan atau tidak normal.
Artinya, ada sejumlah kondisi non-kanker yang dapat ditangani dengan kemoterapi — tentu dengan indikasi yang jelas, pengawasan dokter spesialis, dan pertimbangan klinis yang ketat.
1. Rheumatoid Arthritis (RA)
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan kronis pada sendi. Pada kasus tertentu, dokter menggunakan obat kemoterapi dosis rendah seperti methotrexate sebagai lini terapi karena kemampuannya menekan aktivitas sel imun berlebih. Terapi ini membantu mencegah kerusakan sendi jangka panjang, mengurangi nyeri, dan mengendalikan peradangan. Meski demikian, pemantauan fungsi hati, ginjal, serta darah rutin sangat diperlukan karena potensi efek samping.
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Pada lupus — terutama lupus nefritis atau lupus dengan komplikasi berat — obat seperti cyclophosphamide dapat diberikan untuk menekan sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif. Tujuannya bukan memusnahkan sel seperti pada kanker, melainkan mengurangi serangan sistem imun terhadap jaringan tubuh sendiri. Penggunaannya umumnya bersifat selektif dan jangka waktu terbatas, mengingat efek samping yang dapat muncul bila digunakan tidak sesuai kontrol medis.
3. Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik adalah kondisi gangguan ginjal yang ditandai pembengkakan tubuh, kadar protein tinggi dalam urin, serta penurunan protein darah. Pada beberapa kasus yang tidak merespons terapi standar seperti steroid, kemoterapi dapat menjadi opsi berikutnya. Cyclophosphamide merupakan salah satu obat yang digunakan dalam protokol tertentu untuk menekan progresivitas peradangan ginjal. Terapi ini biasanya dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kekambuhan berulang atau berat.
4. Penyakit Autoimun dan Inflamasi Lainnya
Kemoterapi dosis rendah atau obat turunan kemoterapi yang tergolong Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs (DMARDs) juga digunakan pada gangguan autoimun lain seperti artritis psoriatik, psoriasis parah, vaskulitis, hingga beberapa kondisi peradangan kronis yang tidak merespon obat konvensional. Efeknya terutama berupa penekanan sel imun aktif yang memicu kerusakan jaringan.
Mengapa Kemoterapi Bisa Dipakai untuk Non-Kanker?
Ada tiga alasan utama:
- Menekan sistem imun yang terlalu aktif pada penyakit autoimun.
- Menghambat proliferasi sel penyebab reaksi inflamasi berlebih.
- Menjadi alternatif terapi lanjutan ketika obat standar tidak lagi efektif.
Dengan kata lain, mekanisme kerja kemoterapi tidak terbatas pada memerangi sel kanker — tetapi juga bisa menstabilkan kondisi medis tertentu dengan prinsip pengendalian sel yang berkembang tidak normal.
Risiko dan Hal yang Harus Diketahui Pasien
Meski digunakan pada dosis lebih rendah dibanding terapi kanker, kemoterapi tetap memiliki efek samping signifikan seperti penurunan daya tahan tubuh, gangguan sumsum tulang, risiko infeksi, mual, kelelahan, hingga gangguan fungsi organ. Pemantauan laboratorium dan konsultasi dengan dokter spesialis (rheumatolog, nefrolog, atau internis) menjadi syarat utama.
Penggunaan kemoterapi untuk non-kanker tidak boleh dilakukan secara mandiri atau tanpa evaluasi menyeluruh. Terapi ini hanya diberikan berdasarkan pertimbangan medis yang kuat serta pengawasan ketat selama pengobatan.
Kemoterapi bukan hanya milik dunia onkologi. Sejumlah penyakit non-kanker seperti rheumatoid arthritis, lupus, dan sindrom nefrotik dapat memanfaatkan kemoterapi sebagai bagian dari tatalaksana, terutama ketika terapi konvensional tidak lagi memadai. Dengan pengawasan dokter, kemoterapi dapat menjadi jalan untuk memperlambat kerusakan organ, mengurangi gejala, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Namun, manfaat hanya akan lebih besar dari risikonya bila terapi diberikan sesuai indikasi dan pengawasan profesional medis.